link sumber https://bangfajars.wordpress.com
Artikel ini saya buat sebagai sebuah pertanyaan seorang kawan yang menanyakan, bolehkah ranah penilaian afektif dijadikan satu (penggabungan ) nilai dengan penilaian kognitif serta psikomotor?. pertanyaan ini cukup menarik karena biasanya teori yang dikembangkan Bloom ini dijadikan format terpisah, dan tidak seharusnya digabung mengingat secara dasar teori dan filosofis keilmuan saja sudah berbeda, baik yang digunakan dalam format penilaian KTSP atau penilaian yang lainnya. Baiklah dibawah ini akan saya coba jelaskan dan paparkan mengapa penilaian afektif dan kognitif tidak boleh digabungkan menjadi satu penilaian.
Pendahuluan
Seperti kita ketahui bahwa ranah penilaian pembelajaran menurtu Bloom mencakup 3 ranah yaitu : Kognitif, afektif dan psikomotor. Yang umum digunakan dalam penilaian pembelajaran adalah penilaian menyangkut kognitif, seperti tes tertulis dan pilihan ganda.
Sedangkan kompetensi siswa dalam ranah afektif yang perlu dinilai adalah menyangkut sikap dan minat siswa dalam belajar. Secara teknis penilaian afektif dilakukan melalui dua hal yaitu (1) laporan diri siswa menggunakan angket anonim dan (2) pengamatan sistematis oleh guru terahadap penilaian afektif siswa dan wajib menggunakan lembar pengamatan.
Penilaian pada ranah afektif sangat berbeda dengan penilaian kognitif termasuk penilaian psikomotor, hal ini dikarenakan penilaian afektif lebih mengedepankan sifat kualitatifnya, sedangkan kognitif sangat lebih bersifat kuantitatif. Dalam pelaksanaannya pemilaian afektif harus didalam setiap pembelajaan satu KD serta juga harus ada pengamatan siswa oleh guru. Dan karena keterbatasan waktu maka penilaian afektif hanya digunakan sekali untuk tiap satu kompetensi dasar. Nantinya hasil penilaian afektif seperti laporan diri hanya dapat digunakan untuk bahan pembinaan secara klasikal, dan digunakan guru untuk pembinaan siswa secara individual dan klasikal.
Format Pembagian penilaian
Pada awalnya teori afektif ini dikembangkan oleh peneliti pendidikan seperti : Krathwohl, Bloom dan Masia . Bahkan mereka menjadikan penilaian afektif menjadi 5 klasifikasi kemampuan afektif. Tiap klasifikasi dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih khusus, meliputi: 1) Menerima (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu), 2) Merespon (aktif berpartisipasi), 3) Menghargai (menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu), 4) Mengorganisasi (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayainya), 5) Bertindak/ Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidupnya). Secara dasar dapat di tegaskan bahwa penilaian afektif memang sangat bersifat kualitatif sehingga tidak bisa secara mudah digabungkan dalam sistem penilaian kognitif, ini bisa terlihat dalam penilaian afektif KTSP yang resmi digunakan diknas Depdiknas Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah.
seperti contoh dibawah ini :
Format Penilaian Aspek Kognitif, Afektif, dan Psikomotor
Instrumen penilaian afektif
Kemampuan pada ranah afektif hanya dapat dilihat dari atau melalui laporan diri siswa secara terpisah oleh pengamatan guru. Seperti kita ketahui bahwa ada beberapa komponen afektif yang penting untuk diukur, yaitu, sikap, minat, konsep diri dan nilai. Selanjutnya penilaian afektif tidak boleh mewakili semua pelajaran, tetapi harus menjadi pengawal pada mata pelajaran tertentu tetapi dengan lembar format penilaian yang berbeda dan dengan sudut pandang yang berbeda pula. Contoh misalnya kita akan menilai aspek siswa dalam belajar matematika maka penilaiannya seputar pendapat siswa terhadap proses pembelajaran yang diikutinya, cara belajar matematika, rasa percaya diri siswa dalam belajar, serta tanggung jawab dalam menyelesaikan tugas belajar matematika , kegigihan dalam menyelesaikan permasalahan matematika, kemampuan bekerjasama serta keberanian menyelesaikan permasalahan matematika.
Penyekoran Pada Penilaian Ranah Afektif
a. Penyekoran pada Laporan Diri Siswa (Angket)
Untuk penyekoran pengukuran aspek afektif, mula-mula tiap skala penilaian harus
diberi kreteria. Contoh:
Bagaimana pendapat anda tentang mata pelajaran Matematika?
Menyenangkan 1 2 3 4 5 Membosankan
Bermanfaat 1 2 3 4 5 Tidak bermanfaat
Menarik 1 2 3 4 5 Tidak menarik
Perlu dipelajari 1 2 3 4 5 Tidak perlu dipelajari
Menantang 1 2 3 4 5 Tidak menantang
Perlu disebarluaskan 1 2 3 4 5 Tidak perlu disebarluaskan
Sekor = 1 + 2 + 2 + 3 + 2 + 3 = 13
Nilai afektif siswa terhadap mata pelajaran matematika dilihat dari rentang sekornya kemudian dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan. Pada contoh kasus di atas sekor maksimum 30 dan sekor minimum 6. Dengan demikian mediannya adalah (6 +30)/2 atau sebesar 18. Bila dibagi menjadi 4 kategori, maka diperoleh kriteria minat siswa terhadap mata pelajaran matematika sebagai berikut.
Karena sekor yang diperoleh siswa 13, berada pada rentang 13 – 18
,maka dapat dikatakan bahwa afektif siswa pada mata pelajaran
matematika adalah baik atau sedang.
b. Penyekoran pada Hasil Pengamatan Kemampuan Afektif
Lembar pengamatan afektif memuat aspek-aspek pengamatan afektif. Terhadap setiap aspek yang diamati dapat diberikan sekor sesuai kondisi nyata siswa. Sekor pada tiap aspek dapat berkisar 1-10, sehingga sekor maksimum pada tiap aspek 10. Sekor akhir dari hasi pengamatan ini didasarkan pada penjumlahan sekor pada semua aspek yang diamati dibagi banyaknya aspek yang dinilai.
Sekor afektif dalam bentuk angka dapat ditransfer ke dalam bentuk kualitatif
sehingga menjadi nilai afektif siswa berupa huruf A, B, C, D atau E dengan kriteria tertentu yang disepakati oleh sekolah. Selanjutnya status afektif siswa (positif, negatif atau netral) dapat ditentukan berdasarkan nilai afektif siswa berdasarkan kriteria yang ditetapkan, misalnya siswa positif afektifnya bila nilai afektifnya A atau B, netral bila nilainya C dan negatif bila nilainya D atau E.
Contoh:
Pada pembelajaran suatu kompetensi dasar, guru mengamati afektif siswa dalam 6 aspek yaitu : rasa ingin tahu, kegigihan, rasa percaya diri, kerja sama, tanggung jawab dan keberanian mengemukakan pendapat. Tiap aspek disekor 1-10. Sekor hasil pengamatan terhadap siswa Dewi pada 6 aspek yang diamati itu berturut-turut 7, 8, 7, 8, 9, 6. Sekor akhir afektif dari Dewi adalah (7+8+7+8+9+6) : 6 x 100 = 75 untuk skala 1-100. Sementara itu sekolah menetapkan bahwa nilai afektif A diberikan untuk sekor akhir 86 s.d 100, B untuk sekor 70 s.d. 85, C untuk sekor 60 s.d. 69, D untuk sekor 50 s.d. 59 dan E untuk sekor di bawah 50. Karena Dewi memiliki sekor akhir afektif =75 maka nilai afektif Dewi adalah B. Status afektif Dewi termasuk tinggi.
Kesimpulanya adalah status akhir nilai Dewi dengan nilai afektif B adalah penilaian akhir dari penilaian afektif, jangan justru nilai kuantitatif afektif dengan skor = 75 menjadi penilaian yang akhirnya di gabungkan menjadi penilaian layaknya penilaian kognitif. Karena nilai skor 75 kini berubah menjadi simbol B adalah bentuk lain menjadikan nilai kuantitatif menjadi nilai kualitatif. Itulah mengapa nilai B itu harus mempunyai kolom tersendiri sehingga baik guru, murid , wali murid ataupun bagian kurikulum bisa mengetahui dan mengidentifikasikan kemampuan ranah belajar siswa baik kognitif, afektif dan psikomotor. Sebuah kesalahan jika semua ranah pembelajaran di gabungkan menjadi satu, karena di yakini guru ataupun siswa tidak bisa melihat kelemahan dirinya jatuh pada ranah pembelajaan yang mana.
Pelaporan Hasil Penilaian Afektif dan Pemanfaatannya
Laporan aspek afektif siswa mendeskripsikan sikap dan minat siswa terhadap mata pelajaran matematika. Laporan ini haruslah memiliki bukti-bukti yang dapat ditunjukkan untuk menyatakan sikap dan minat siswa, misalnya pengamatan di kelas dan hasil angket serta hasil wawancara (bila perlu). Laporan aspek afektif dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan guru untuk memperbaiki kinerjanya. Hal ini dapat dimengerti karena dengan adanya laporan diri siswa pada aspek afektif maka guru dapat mengetahui apakah siswanya lebih senang pada mata pelajaran yang diampunya atau tidak. Apabila siswa merasa semakin tidak menyenangi mata pelajaran yang diampunya maka guru harus merubah strategi pembelajarannya. Laporan itu juga dapat digunakan orang tua untuk mengetahui sikap dan minat anak terhadap mata pelajaran matematika. Dengan demikian orang tua dapat lebih baik lagi dalam memotivasi anaknya agar afektifnya terhadap mata pelajaran matematika menjadi lebih baik.
Contoh penilaian afektif
PENILAIAN ASPEK AFEKTIF (menggunakan skala Likert atau skala 5)
Tujuan :Mengukur sikap siswa pada saat pembelajaran berlangsung.
Nama :
Kelas :
Materi : Bahan kimia dalam kehidupan sehari-hari.
Keterangan : Sangat baik (2), Baik (1), Tidak Baik (0)
Rentang penilaian :
Memperhatikan penjelasan guru
Menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru
Saya akan mengungkapkan gagasan apabila mempunyai ide yang lebih baik dari yang sudah ada
Penilaian akhir adalah :
Contoh pensekoran nilai afektif
Skor yang diberikan terhadap butir instrumen bergantung pada skor pernyataan positif dan pernyataan negatif. Skor pernyataan negatif adalah kebalikan dari skor pernyataan positif. Misalnya sebagai berikut:
Untuk pernyataan positif (mendukung) ialah:
Untuk pernyataan negatif (menolak) ialah
Dengan demikian dari butir instrumen seperti contoh di atas yang
memiliki jumlah soal 15 maka skor maksimal yang dapat dicapai oleh
siswa adalah 75 dan skor minimal adalah 15. selanjutnya dibuat rentang
skor seperti contoh di bawah ini
Selain instrumen dalam bentuk kuesioner atau angket ada pula
instrumen dalam bentuk observasi. Jenis observasi ini banyak digunakan
untuk menilai ranah afektif yakni dengan observasi langsung. Sebagai
contoh lembar observasi untuk menilai sikap dapat dilihat dibawah ini:
Contoh Format Lembar Pengamatan Sikap Siswa
Skor untuk masing-masing sikap di atas dapat berupa angka. Akan tetapi, pada tahap akhir skor tersebut dirata-ratakan dan dikonversikan ke dalam bentuk kualitatif. Skala penilaian dibuat dengan rentangan dari 1 sampai dengan 5. Penafsiran angka-angka tersebut adalah sebagai berikut: 1 = sangat kurang, 2 = kurang, 3 = cukup. 4= baik, dan 5 = amat baik.
Jadi skor maksimum perangkat = 5 ( skor maks setiap indikator) X 9 ( indikator)
= 45.
Nilai afektif diberikan dalam bentuk huruf, oleh karena itu total skor yang telah diperoleh harus dikonversi. Banyak cara untuk mengkonversi skor menjadi nilai, salah satunya yang sederhana yaitu menggunakan kriteria dalam bentuk presentase.
Skor total jawaban benar siswa
Konversi Nilai = —————————————- X 100
skor maksimum perangkat tes
Jadi siswa yang memperoleh skor 35 setelah dikonversi nilainya menjadi:
35
—- X 100 = 78
45
Maka Nilai afektif hasil konversi untuk Amanda adalah C
Contoh Pengukuran Ranah Penilaian Afektif berikutnya :
Kompetensi siswa dalam ranah afektif yang perlu dinilai utamanya menyangkut sikap dan minat siswa dalam belajar. Secara teknis penilaian ranah afektif dilakukan melalui dua hal yaitu: a) laporan diri oleh siswa yang biasanya dilakukan dengan pengisian angket anonim, b) pengamatan sistematis oleh guru terhadap afektif siswa dan perlu lembar pengamatan.
Ranah afektif tidak dapat diukur seperti halnya ranah kognitif, karena dalam ranah afektif kemampuan yang diukur adalah:
Skala yang sering digunakan dalam instrumen (alat) penilaian afektif adalah Skala Thurstone, Skala Likert, dan Skala Beda Semantik.
Contoh Skala Thurstone: Minat terhadap pelajaran sejarah
Contoh Skala Likert: Minat terhadap pelajaran sejarah
Keterangan:
SS : Sangat setuju
S : Setuju
TS : Tidak setuju
STS : Sangat tidak setuju
Contoh Lembar Penilaian Diri Siswa
Minat Membaca
Nama Pembelajar:_____________________________
Kesimpulan akhir :
Pada kajian lebih lanjut sebetulnya ranah pembelajaran kognitif , afektif dan psikomotor adalah reduksi dari pemahaman cara pandang kuantitatif dan kualitatif, seperti pada awal sejarah perkembangannya, seperti menurut sebuah buku yang berjudul “Becoming Qualitatif Researches”, yang dikarang Corrine Glesne & Alan Peshkin, 1992. Dijelaskan disana penelitian kuantitatif lebih mengedepankan = memiliki sebuahFakta sosial , Mengunggulkan realitas obyektif metode , Variabel diidentifikasi dan hubungannya diukur , Etic (pandangan dari luar), Generalisasi , Meramalkan , Penjelasan kausal , Memulai dengan teori & hipotesis dll . Sedangkan penelitian kualitatif lebih mengedepankan = Realitas bentukan sosial ,Mengunggulkan pada tema pokok , Variabel lebih kompleks, merangkai hubungan dan sulit diukur , Emic (pandangan dari dalam), Kontekstualisasi , Menginterpretasi , Pemahaman perspektif peneliti , Mengakhiri dengan hipotesis & teori dasar.
Dari pembahasan kajian teori ,format penilaian dan metode instrumen saja penilaian afektif dan kognitif sudah sangat berbeda, maka sangat tidak memungkinkan dua metode ini dijadikan satu dalam pengertian penggabungan nilai. yang ada, pada masa kekinian (seperti yang ungkapkan oleh teori Bloom) adalah mengkombinasikan dua aliran penelitian ini menjadi bagian tak terpisahkan dalam peniliaian siswa (harus dingat Bloom lebih mengedepankan kajian ini untuk dunia pendidikan) sehingga sistem penilaian menjadi lengkap, kaya dan dinamis, itulah mengapa menurut Bloom penilaian kognitif, afektif dan psikomotor harus dibedakan oleh format penilaian yang juga berbeda, tidak seharusnya penilaian kognitif (yang mempunyai aliran kuantitatif) harus dijadikan satu nilai dengan penilaian afektif (dalam hal ini aliran kualitatif) walaupun dalam prakteknya penilaian afektif adalah sistem penilaian kuantitatif yang dikualitatifkan.
Sumber:
Andersen, Lorin. W. (1981). Assessing affective characteristic in the schools. Boston: Allyn and Bacon.
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika
Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Draft Final.
Jakarta : Depdiknas.
Degeng N.S., (1999). Pandangan behavioristik vs konstruktivistik: pemecahan masalah belajar abad XXI. Malang: Makalah Seminar TEP.
Gagne, E.D. 1985. The Cognitive Psychology of School Learning. Boston, Toronto: Liitle, Brown and Company.
Gable, Robert. K. (1986). Instrument development in the affective domain. Boston: Kluwer-Nijhoff Publishing.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Sax, Gilbert. (1980). Principles of educational and psychological measurement and evaluation. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company.
Straughan, R. (1989). Belief, behaviour, and education. London: Biddles Ltd. Guilfordand King’s Lynn.
Thorndike, Robert, L., & Hagen, Elizabeth. P. (1977). Measurement and evaluation in psychology and education. New York: John Wiley & Sons.
Artikel ini saya buat sebagai sebuah pertanyaan seorang kawan yang menanyakan, bolehkah ranah penilaian afektif dijadikan satu (penggabungan ) nilai dengan penilaian kognitif serta psikomotor?. pertanyaan ini cukup menarik karena biasanya teori yang dikembangkan Bloom ini dijadikan format terpisah, dan tidak seharusnya digabung mengingat secara dasar teori dan filosofis keilmuan saja sudah berbeda, baik yang digunakan dalam format penilaian KTSP atau penilaian yang lainnya. Baiklah dibawah ini akan saya coba jelaskan dan paparkan mengapa penilaian afektif dan kognitif tidak boleh digabungkan menjadi satu penilaian.
Pendahuluan
Seperti kita ketahui bahwa ranah penilaian pembelajaran menurtu Bloom mencakup 3 ranah yaitu : Kognitif, afektif dan psikomotor. Yang umum digunakan dalam penilaian pembelajaran adalah penilaian menyangkut kognitif, seperti tes tertulis dan pilihan ganda.
Sedangkan kompetensi siswa dalam ranah afektif yang perlu dinilai adalah menyangkut sikap dan minat siswa dalam belajar. Secara teknis penilaian afektif dilakukan melalui dua hal yaitu (1) laporan diri siswa menggunakan angket anonim dan (2) pengamatan sistematis oleh guru terahadap penilaian afektif siswa dan wajib menggunakan lembar pengamatan.
Penilaian pada ranah afektif sangat berbeda dengan penilaian kognitif termasuk penilaian psikomotor, hal ini dikarenakan penilaian afektif lebih mengedepankan sifat kualitatifnya, sedangkan kognitif sangat lebih bersifat kuantitatif. Dalam pelaksanaannya pemilaian afektif harus didalam setiap pembelajaan satu KD serta juga harus ada pengamatan siswa oleh guru. Dan karena keterbatasan waktu maka penilaian afektif hanya digunakan sekali untuk tiap satu kompetensi dasar. Nantinya hasil penilaian afektif seperti laporan diri hanya dapat digunakan untuk bahan pembinaan secara klasikal, dan digunakan guru untuk pembinaan siswa secara individual dan klasikal.
Format Pembagian penilaian
Pada awalnya teori afektif ini dikembangkan oleh peneliti pendidikan seperti : Krathwohl, Bloom dan Masia . Bahkan mereka menjadikan penilaian afektif menjadi 5 klasifikasi kemampuan afektif. Tiap klasifikasi dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih khusus, meliputi: 1) Menerima (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu), 2) Merespon (aktif berpartisipasi), 3) Menghargai (menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu), 4) Mengorganisasi (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayainya), 5) Bertindak/ Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidupnya). Secara dasar dapat di tegaskan bahwa penilaian afektif memang sangat bersifat kualitatif sehingga tidak bisa secara mudah digabungkan dalam sistem penilaian kognitif, ini bisa terlihat dalam penilaian afektif KTSP yang resmi digunakan diknas Depdiknas Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah.
seperti contoh dibawah ini :
Format Penilaian Aspek Kognitif, Afektif, dan Psikomotor
No | Nama Siswa | Kognitif | Afektif | Psikomotor | ||||||||
1 | 2 | 3 | 4 | 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 1 | 2 | ||
1. | ||||||||||||
2. | ||||||||||||
3. |
Kemampuan pada ranah afektif hanya dapat dilihat dari atau melalui laporan diri siswa secara terpisah oleh pengamatan guru. Seperti kita ketahui bahwa ada beberapa komponen afektif yang penting untuk diukur, yaitu, sikap, minat, konsep diri dan nilai. Selanjutnya penilaian afektif tidak boleh mewakili semua pelajaran, tetapi harus menjadi pengawal pada mata pelajaran tertentu tetapi dengan lembar format penilaian yang berbeda dan dengan sudut pandang yang berbeda pula. Contoh misalnya kita akan menilai aspek siswa dalam belajar matematika maka penilaiannya seputar pendapat siswa terhadap proses pembelajaran yang diikutinya, cara belajar matematika, rasa percaya diri siswa dalam belajar, serta tanggung jawab dalam menyelesaikan tugas belajar matematika , kegigihan dalam menyelesaikan permasalahan matematika, kemampuan bekerjasama serta keberanian menyelesaikan permasalahan matematika.
Penyekoran Pada Penilaian Ranah Afektif
a. Penyekoran pada Laporan Diri Siswa (Angket)
Untuk penyekoran pengukuran aspek afektif, mula-mula tiap skala penilaian harus
diberi kreteria. Contoh:
Bagaimana pendapat anda tentang mata pelajaran Matematika?
Menyenangkan 1 2 3 4 5 Membosankan
Bermanfaat 1 2 3 4 5 Tidak bermanfaat
Menarik 1 2 3 4 5 Tidak menarik
Perlu dipelajari 1 2 3 4 5 Tidak perlu dipelajari
Menantang 1 2 3 4 5 Tidak menantang
Perlu disebarluaskan 1 2 3 4 5 Tidak perlu disebarluaskan
Sekor = 1 + 2 + 2 + 3 + 2 + 3 = 13
Nilai afektif siswa terhadap mata pelajaran matematika dilihat dari rentang sekornya kemudian dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan. Pada contoh kasus di atas sekor maksimum 30 dan sekor minimum 6. Dengan demikian mediannya adalah (6 +30)/2 atau sebesar 18. Bila dibagi menjadi 4 kategori, maka diperoleh kriteria minat siswa terhadap mata pelajaran matematika sebagai berikut.
Sekor | kriteria |
6-12 | Sangat baik (tinggi) |
13-18 | Baik (sedang) |
19-24 | Kurang baik (rendah) |
25-30 | Tidak baik (sangat rendah) |
b. Penyekoran pada Hasil Pengamatan Kemampuan Afektif
Lembar pengamatan afektif memuat aspek-aspek pengamatan afektif. Terhadap setiap aspek yang diamati dapat diberikan sekor sesuai kondisi nyata siswa. Sekor pada tiap aspek dapat berkisar 1-10, sehingga sekor maksimum pada tiap aspek 10. Sekor akhir dari hasi pengamatan ini didasarkan pada penjumlahan sekor pada semua aspek yang diamati dibagi banyaknya aspek yang dinilai.
Sekor afektif dalam bentuk angka dapat ditransfer ke dalam bentuk kualitatif
sehingga menjadi nilai afektif siswa berupa huruf A, B, C, D atau E dengan kriteria tertentu yang disepakati oleh sekolah. Selanjutnya status afektif siswa (positif, negatif atau netral) dapat ditentukan berdasarkan nilai afektif siswa berdasarkan kriteria yang ditetapkan, misalnya siswa positif afektifnya bila nilai afektifnya A atau B, netral bila nilainya C dan negatif bila nilainya D atau E.
Contoh:
Pada pembelajaran suatu kompetensi dasar, guru mengamati afektif siswa dalam 6 aspek yaitu : rasa ingin tahu, kegigihan, rasa percaya diri, kerja sama, tanggung jawab dan keberanian mengemukakan pendapat. Tiap aspek disekor 1-10. Sekor hasil pengamatan terhadap siswa Dewi pada 6 aspek yang diamati itu berturut-turut 7, 8, 7, 8, 9, 6. Sekor akhir afektif dari Dewi adalah (7+8+7+8+9+6) : 6 x 100 = 75 untuk skala 1-100. Sementara itu sekolah menetapkan bahwa nilai afektif A diberikan untuk sekor akhir 86 s.d 100, B untuk sekor 70 s.d. 85, C untuk sekor 60 s.d. 69, D untuk sekor 50 s.d. 59 dan E untuk sekor di bawah 50. Karena Dewi memiliki sekor akhir afektif =75 maka nilai afektif Dewi adalah B. Status afektif Dewi termasuk tinggi.
Kesimpulanya adalah status akhir nilai Dewi dengan nilai afektif B adalah penilaian akhir dari penilaian afektif, jangan justru nilai kuantitatif afektif dengan skor = 75 menjadi penilaian yang akhirnya di gabungkan menjadi penilaian layaknya penilaian kognitif. Karena nilai skor 75 kini berubah menjadi simbol B adalah bentuk lain menjadikan nilai kuantitatif menjadi nilai kualitatif. Itulah mengapa nilai B itu harus mempunyai kolom tersendiri sehingga baik guru, murid , wali murid ataupun bagian kurikulum bisa mengetahui dan mengidentifikasikan kemampuan ranah belajar siswa baik kognitif, afektif dan psikomotor. Sebuah kesalahan jika semua ranah pembelajaran di gabungkan menjadi satu, karena di yakini guru ataupun siswa tidak bisa melihat kelemahan dirinya jatuh pada ranah pembelajaan yang mana.
Pelaporan Hasil Penilaian Afektif dan Pemanfaatannya
Laporan aspek afektif siswa mendeskripsikan sikap dan minat siswa terhadap mata pelajaran matematika. Laporan ini haruslah memiliki bukti-bukti yang dapat ditunjukkan untuk menyatakan sikap dan minat siswa, misalnya pengamatan di kelas dan hasil angket serta hasil wawancara (bila perlu). Laporan aspek afektif dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan guru untuk memperbaiki kinerjanya. Hal ini dapat dimengerti karena dengan adanya laporan diri siswa pada aspek afektif maka guru dapat mengetahui apakah siswanya lebih senang pada mata pelajaran yang diampunya atau tidak. Apabila siswa merasa semakin tidak menyenangi mata pelajaran yang diampunya maka guru harus merubah strategi pembelajarannya. Laporan itu juga dapat digunakan orang tua untuk mengetahui sikap dan minat anak terhadap mata pelajaran matematika. Dengan demikian orang tua dapat lebih baik lagi dalam memotivasi anaknya agar afektifnya terhadap mata pelajaran matematika menjadi lebih baik.
Contoh penilaian afektif
PENILAIAN ASPEK AFEKTIF (menggunakan skala Likert atau skala 5)
Tujuan :Mengukur sikap siswa pada saat pembelajaran berlangsung.
Nama :
Kelas :
Materi : Bahan kimia dalam kehidupan sehari-hari.
Sikap dan Nilai
|
Nama Siswa
|
|||||
|
||||||
Ya
|
Tidak
|
Ya
|
Tidak
|
Ya
|
Tidak
|
|
|
||||||
|
||||||
|
||||||
|
||||||
|
||||||
|
||||||
|
||||||
|
||||||
|
||||||
|
||||||
|
||||||
|
Rentang penilaian :
Memperhatikan penjelasan guru
- Sangat baik (Memperhatikan guru dengan serius, tidak bercanda dengan teman, dan antusias dalam pembelajaran) = 2
- Baik (Memperhatikan penjelasan guru, sesekali bercanda dengan teman) = 1
- Tidak baik (Tidak memperhatikan penjelasan guru, sering bercanda dengan teman) = 0
- Sangat baik (Memperhatikan dengan serius, tidak bercanda dengan teman, dan antusias melihat media pembelajaran) = 2
- Baik (Memperhatikan media pembelajaran, sesekali bercanda dengan teman) = 1
- Tidak baik (Tidak memperhatikan media pembelajaran, sering bercanda dengan teman) = 0
Menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru
- Sangat baik (Menjawab Pertanyaan yang diajukan guru dengan jawaban yang sesuai dengan yang ditanyakan) = 2
- Baik (Menjawab pertanyaan yang diajukan guru kurang tepat dari yang ditanyakan) = 1
- Tidak baik (Tidak menjawab pertanyaan yang diajukan guru) = 0
- Sangat baik (Memperhatikan dengan antusias) = 2
- Baik (Hanya melihat saja, tidak tertarik dengan fenomena) = 1
- Tidak baik (Acuh terhadap fenomena yang terjadi) = 0
- Sangat baik (Mengikuti praktikum dengan sungguh-sungguh) = 2
- Baik (Mengikuti praktikum sesekali sesekali bercanda dengan teman ) = 1
- Tidak baik (Tidak mengikuti praktikum dengan sungguh-sungguh) = 0
- Sangat baik (Antusias dalam mengikuti pembelajaran, tidak bercanda selama pembelajaran) = 2
- Baik (Antusias dalam mengikuti pembelajaran, sesekali bercanda dengan teman) = 1
- Tidak baik (Tidak mengikuti pembelajaran dengan baik, sering bercanda dengan teman) = 0
- Sangat baik (Melakukan kerjasama bersama teman kelompok praktikum) = 2
- Baik (Melakukan kerjasama bersama teman kelompok sesekali saja) = 1
- Tidak baik (Tidak melakukan kerjasama dengan teman kelompok praktikum) = 0
- Sangat baik Sering mendiskusikan prosedur, pengamatan dan hasil praktikum) = 2
- Baik (Mendiskusikan pengamatan dan hasil praktikum saja) = 1
- Tidak baik (Tidak pernah berdiskusi) = 0
- Sangat baik (Dapat menyimpulkan hasil pembelajaran kesekuruhan ) = 2
- Baik (Dapat menyimpulkan hasil pembelajaran sebagian saja ) = 1
- Tidak baik (Tidak dapat menyimpulkan hasil pembelajaran) = 0
- Sangat baik (Dapat menjelaskan kembali pembelajarn yang sudah dilakukan dengan contoh lain yang diajukan guru ) = 2
- Baik (Dapat menjelaskan kembali pembelajaran yang sudah dilakukan dengan contoh lain yang diajukan guru tetapi kurang terstruktur) = 1
- Tidak baik ( tidak dapat menjelaskan kembali pembelajarn yang sudah dilakukan dengan contoh lain yang diajukan guru) = 0
- Sangat baik (Sering mendiskusikan prosedur, pengamatan dan hasil praktikum) = 2
- Baik (Mendiskusikan pengamatan dan hasil praktikum saja) = 1
- Tidak baik (Tidak pernah berdiskusi) = 0
Saya akan mengungkapkan gagasan apabila mempunyai ide yang lebih baik dari yang sudah ada
- Sangat baik (Dapat mengungkapkan gagasan yang baik dan sesuai dengan pembelajaran yang dilakukan) = 2
- Baik (Dapat mengungkapkan gagasan yang kurang sesuai dengan pembelajaran yang dilakukan) = 1
- Tidak baik (Tidak dapat mengungkapkan gagasan sedikitpun) = 0
Penilaian akhir adalah :
Contoh pensekoran nilai afektif
Skor yang diberikan terhadap butir instrumen bergantung pada skor pernyataan positif dan pernyataan negatif. Skor pernyataan negatif adalah kebalikan dari skor pernyataan positif. Misalnya sebagai berikut:
Untuk pernyataan positif (mendukung) ialah:
PERNYATAAN | SKOR |
Sangat Setuju | 5 |
Setuju | 4 |
Tidak punya pendapat/ ragu-ragu | 3 |
Tidak Setuju | 2 |
Sangat Tidak Setuju | 1 |
PERNYATAAN | SKOR |
Sangat Setuju | 1 |
Setuju | 2 |
Tidak punya pendapat/ ragu-ragu | 3 |
Tidak Setuju | 4 |
Sangat Tidak Setuju | 5 |
NO | RENTANG SKOR | PERNYATAAN SIKAP |
1 | 55 – 75 | Sikapnya positip |
2 | 35 – 54 | Netral |
3 | 15 – 34 | Sikapnya negatip |
Contoh Format Lembar Pengamatan Sikap Siswa
Skor untuk masing-masing sikap di atas dapat berupa angka. Akan tetapi, pada tahap akhir skor tersebut dirata-ratakan dan dikonversikan ke dalam bentuk kualitatif. Skala penilaian dibuat dengan rentangan dari 1 sampai dengan 5. Penafsiran angka-angka tersebut adalah sebagai berikut: 1 = sangat kurang, 2 = kurang, 3 = cukup. 4= baik, dan 5 = amat baik.
Jadi skor maksimum perangkat = 5 ( skor maks setiap indikator) X 9 ( indikator)
= 45.
Nilai afektif diberikan dalam bentuk huruf, oleh karena itu total skor yang telah diperoleh harus dikonversi. Banyak cara untuk mengkonversi skor menjadi nilai, salah satunya yang sederhana yaitu menggunakan kriteria dalam bentuk presentase.
Presentasi jawaban | NILAI KONVERSI | ||
HURUF | STANDAR 10 | STANDAR 4 | |
91 – 10081 – 9071 – 80
61 – 70 kurang dari 61 |
ABC
D Gagal |
987
6 gagal |
432
1 gagal |
Skor total jawaban benar siswa
Konversi Nilai = —————————————- X 100
skor maksimum perangkat tes
Jadi siswa yang memperoleh skor 35 setelah dikonversi nilainya menjadi:
35
—- X 100 = 78
45
Maka Nilai afektif hasil konversi untuk Amanda adalah C
Contoh Pengukuran Ranah Penilaian Afektif berikutnya :
Kompetensi siswa dalam ranah afektif yang perlu dinilai utamanya menyangkut sikap dan minat siswa dalam belajar. Secara teknis penilaian ranah afektif dilakukan melalui dua hal yaitu: a) laporan diri oleh siswa yang biasanya dilakukan dengan pengisian angket anonim, b) pengamatan sistematis oleh guru terhadap afektif siswa dan perlu lembar pengamatan.
Ranah afektif tidak dapat diukur seperti halnya ranah kognitif, karena dalam ranah afektif kemampuan yang diukur adalah:
- Menerima (memperhatikan), meliputi kepekaan terhadap kondisi, gejala, kesadaran, kerelaan, mengarahkan perhatian
- Merespon, meliputi merespon secara diam-diam, bersedia merespon, merasa puas dalam merespon, mematuhi peraturan
- Menghargai, meliputi menerima suatu nilai, mengutamakan suatu nilai, komitmen terhadap nilai
- Mengorganisasi, meliputi mengkonseptualisasikan nilai, memahami hubungan abstrak, mengorganisasi sistem suatu nilai
Skala yang sering digunakan dalam instrumen (alat) penilaian afektif adalah Skala Thurstone, Skala Likert, dan Skala Beda Semantik.
Contoh Skala Thurstone: Minat terhadap pelajaran sejarah
7 | 6 | 5 | 4 | 3 | 2 | 1 | |
Saya senang balajar sejarah | |||||||
Pelajaran sejarah bermanfaat | |||||||
Pelajaran sejarah membosankan | |||||||
Dst…. |
|
SS | S | TS | STS |
|
||||
|
||||
|
SS : Sangat setuju
S : Setuju
TS : Tidak setuju
STS : Sangat tidak setuju
Contoh Lembar Penilaian Diri Siswa
Minat Membaca
Nama Pembelajar:_____________________________
No | Deskripsi | Ya/Tidak |
1 | Saya lebih suka membaca dibandingkan dengan melakukan hal-hal lain | |
2 | Banyak yang dapat saya ambil hikmah dari buku yang saya baca | |
3 | Saya lebih banyak membaca untuk waktu luang saya | |
4 | Dst………….. |
Pada kajian lebih lanjut sebetulnya ranah pembelajaran kognitif , afektif dan psikomotor adalah reduksi dari pemahaman cara pandang kuantitatif dan kualitatif, seperti pada awal sejarah perkembangannya, seperti menurut sebuah buku yang berjudul “Becoming Qualitatif Researches”, yang dikarang Corrine Glesne & Alan Peshkin, 1992. Dijelaskan disana penelitian kuantitatif lebih mengedepankan = memiliki sebuahFakta sosial , Mengunggulkan realitas obyektif metode , Variabel diidentifikasi dan hubungannya diukur , Etic (pandangan dari luar), Generalisasi , Meramalkan , Penjelasan kausal , Memulai dengan teori & hipotesis dll . Sedangkan penelitian kualitatif lebih mengedepankan = Realitas bentukan sosial ,Mengunggulkan pada tema pokok , Variabel lebih kompleks, merangkai hubungan dan sulit diukur , Emic (pandangan dari dalam), Kontekstualisasi , Menginterpretasi , Pemahaman perspektif peneliti , Mengakhiri dengan hipotesis & teori dasar.
Dari pembahasan kajian teori ,format penilaian dan metode instrumen saja penilaian afektif dan kognitif sudah sangat berbeda, maka sangat tidak memungkinkan dua metode ini dijadikan satu dalam pengertian penggabungan nilai. yang ada, pada masa kekinian (seperti yang ungkapkan oleh teori Bloom) adalah mengkombinasikan dua aliran penelitian ini menjadi bagian tak terpisahkan dalam peniliaian siswa (harus dingat Bloom lebih mengedepankan kajian ini untuk dunia pendidikan) sehingga sistem penilaian menjadi lengkap, kaya dan dinamis, itulah mengapa menurut Bloom penilaian kognitif, afektif dan psikomotor harus dibedakan oleh format penilaian yang juga berbeda, tidak seharusnya penilaian kognitif (yang mempunyai aliran kuantitatif) harus dijadikan satu nilai dengan penilaian afektif (dalam hal ini aliran kualitatif) walaupun dalam prakteknya penilaian afektif adalah sistem penilaian kuantitatif yang dikualitatifkan.
Sumber:
Andersen, Lorin. W. (1981). Assessing affective characteristic in the schools. Boston: Allyn and Bacon.
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika
Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Draft Final.
Jakarta : Depdiknas.
Degeng N.S., (1999). Pandangan behavioristik vs konstruktivistik: pemecahan masalah belajar abad XXI. Malang: Makalah Seminar TEP.
Gagne, E.D. 1985. The Cognitive Psychology of School Learning. Boston, Toronto: Liitle, Brown and Company.
Gable, Robert. K. (1986). Instrument development in the affective domain. Boston: Kluwer-Nijhoff Publishing.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Sax, Gilbert. (1980). Principles of educational and psychological measurement and evaluation. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company.
Straughan, R. (1989). Belief, behaviour, and education. London: Biddles Ltd. Guilfordand King’s Lynn.
Thorndike, Robert, L., & Hagen, Elizabeth. P. (1977). Measurement and evaluation in psychology and education. New York: John Wiley & Sons.
Terima kasih postingx, sangat membantu 😇
BalasHapus