Selasa, 21 Juli 2015

*Di naqil daripada Kitab Durrotun Nashihin,*
Diriwayatkan bahwa surah AI-Maidah ayat 3 diturunkan pada waktu sesudah
ashar yaitu pada hari Jumat di padang Arafah pada musim haji terakhir
[Wada].
Pada masa itu Rasulullah s.a.w. berada di Arafah di atas unta. Ketika ayat
ini turun Rasulullah s.a.w. tidak begitu jelas menangkap isi dan makna yang
terkandung dalam ayat tersebut. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersandar pada
unta beliau, dan unta beliau pun duduk perlahan-lahan.*
Setelah itu turun malaikat Jibril a.s. dan berkata: “Wahai Muhammad,
sesungguhnya pada hari ini telah disempurnakan urusan agamamu, maka
terputuslah apa yang diperintahkan oleh Allah s.w.t.dan demikian juga apa
yang terlarang olehnya. Karena itu kamu kumpulkan para sahabatmu dan
beritahu kepada mereka bahwa hari ini adalah hari terakhir aku bertemu
denganmu.”
Setelah itu Malaikat Jibril a.s. pergi, maka Rasulullah s.a.w. pun berangkat
ke Mekah dan terus pergi ke Madinah.Setelah Rasulullah s.a.w. mengumpulkan
para sahabat beliau, maka Rasulullah s.a.w. pun menceritakan apa yang telah
diberitahu oleh malaikat Jibril a.s. Ketika para sahabat mendengar hal yang
demikian maka mereka pun gembira sambil berkata: “Agama kita telah sempurna.
Agama kila telah sempuna.”
Namun ketika Abu Bakar r.a. mendengar keterangan Rasulullah s.a.w. itu, maka
ia tidak dapat menahan kesedihannya maka ia pun kembali ke rumah lalu
mengunci pintu dan menangis dengan kuat. Abu Bakar ra. menangis dari pagi
hingga malam.
Kisah tentang Abu Bakar r.a. menangis telah sampai kepada para sahabat yang
lain, maka berkumpullah para sahabat di hadapan rumah Abu Bakar r.a. dan
mereka berkata: “Wahai Abu Bakar, apakah yang telah membuat kamu menangis
sehingga begini sekali keadaanmu? Seharusnya kamu berasa gembira sebab agama
kita telah sempurna.” Mendengarkan pertanyaan dari para sahabat maka Abu
Bakar r.a. pun berkata: “Wahai para sahabatku, kalian semua tidak tahu
tentang musibah yang menimpa kamu, tidakkah kalian tahu bahwa apabila
sesuatu perkara itu telah sempurna menunjukkan bahwa perpisahan kita dengan
Rasulullah s.a.w telah dekat. Hasan dan Husen menjadi yatim dan para isteri
nabi menjadi janda.”
Setelah mereka mendengar penjelasan dari Abu Bakar r.a. maka sadarlah mereka
akan kebenaran kata-kata Abu Bakar r.a., lalu mereka menangis. Tangisan
mereka telah didengar oleh para sahabat yang lain, maka mereka pun terus
beritahu Rasulullah s.a.w. tentang apa yang mereka lihat itu. Berkata salah
seorang dari para sahabat: “Ya Rasulullah s.a.w., kami baru kembali dari
rumah Abu Bakar r.a. dan kami mendapati banyak orang menangis dengan suara
yang kuat di hadapan rumah beliau.” Ketika Rasulullah s.a.w. mendengar
keterangan dari para sahabat, maka berubahlah wajah Rasulullah s.a.w. dan
dengan bergegas beliau menuju ke rumah Abu Bakar r.a..
Sesampainya Rasulullah s.a.w. sampai di rumah Abu Bakar r.a. maka Rasulullah
s.a.w. melihat para sahabatnya sedang menangis dan bertanya: “Wahai para
sahabatku, mengapa kamu semua menangis?.” Kemudian Ali r.a. berkata: “Ya
Rasulullah s.a.w., AbuBakar r.a. mengatakan dengan turunnya ayat ini membawa
tanda bahwa waktu wafatmu telah dekat. Benarkah ini ya Rasulullah?.” Lalu
Rasulullah s.a.w. berkata: “Semua yang dikatakan oleh Abu Bakar r.a. adalah
benar, dan sesungguhnya masa untuk aku meninggalkan kamu semua telah hampir
dekat.”
Abu Bakar r.a. mendengar pengakuan Rasulullah s.a.w., maka ia pun menangis
sekuat tenaganya sehingga ia jatuh pingsan, sementara Ali r.a. pula gemetar
seluruh tubuhnya. Dan para sahabat yang lain menangis dengan sekuat-kuatnya
yang mereka mampu..
Pada saat sudah dekat ajal Rasulullah s.a.w., beliau menyuruh Bilal azan
untuk mengerjakan shalat, lalu berkumpul para Muhajirin dan Anshar di masjid
Rasulullah s.a.w.. Kemudian Rasulullah s.a.w. menunaikan shalat dua raka’at
bersama semua yang hadir. Setelah selesai mengerjakan shalat beliau bangun
dan naik ke atas mimbar dan berkata: “Allhamdulillah, wahai para muslimin,
sesungguhnya saya adalah seorang nabi yang diutus dan mengajak orang kepada
jalan Allah dengan izinnya. Dan saya ini adalah sebagai saudara kandung
kalian, yang kasih sayang pada kalian semua seperti seorang ayah. Oleh
karena itu kalau ada yang mempunyai hak untuk menuntutku, maka hendaklah ia
bangun dan balaslah saya sebelum saya dituntut di hari kiamat.”
Rasulullah s.a.w. berkata demikian sebanyak 3 kali kemudian bangunlah
seorang lelaki yang bernama ‘Ukasyah bin Muhshin dan berkata: “Demi ayahku
dan ibuku ya Rasulullah s.a.w, kalau anda tidak mengumumkan kepada kami
berkali-kali sudah tentu saya tidak mau melakukan hal ini.” Lalu ‘Ukasyah
berkata lagi: “Sesungguhnya dalam Perang Badar saya bersamamu ya Rasulullah,
pada masa itu saya mengikuti unta anda dari belakang, setelah dekat saya pun
turun menghampiri anda dengan tujuan supaya saya dapat mencium paha anda,
tetapi anda telah mengambil tongkat dan memukul unta anda untuk berjalan
cepat,yang mana pada masa itu saya pun anda pukul pada tulang rusuk saya.
Oleh itu saya ingin tahu sama anda sengaja memukul saya atau hendak memukul
unta tersebut.”
Rasulullah s.a.w. berkata: “Wahai ‘Ukasyah, Rasulullah s.a.w. sengaja
memukul kamu.” [Rasulullah SAW melakukan pemukulan tersebut karena beliau
tidak ingin dikultuskan oleh manusia termasuk sahabatnya itu. pen] Kemudian
Rasulullah s.a.w. berkata kepada Bilal r.a.: “Wahai Bilal, kamu pergi ke
rumah Fatimah dan ambilkan tongkatku ke mari.” Bilal keluar dari masjid
menuju ke rumah Fatimah sambil meletakkan tangannya di atas kepala dengan
berkata: “Rasulullah telah menyediakan dirinya untuk dibalas [diqishash].”
Setelah Bilal sampai di rumah Fatimah maka Bilal pun memberi salam dan
mengetuk pintu. Kemudian Fatimah r.a. menyahut dengan berkata: “Siapakah di
pintu?.” Lalu Bilal r.a. berkata: ]”Saya Bilal, saya telah diperintahkan
oleh Rasulullah s.a.w. untuk mengambil tongkat beliau.” Kemudian Fatimah
r.a. berkata: “Wahai Bilal, untuk apa ayahku minta tongkatnya.” Berkata
Bilal r.a.: “Wahai Fatimah, Rasulullah s.a.w. telah menyediakan dirinya
untuk diqishash.” Bertanya Fatimah. r.a. lagi: “Wahai Bilal, siapakah
manusia yang sampai hatinya untuk menqishash Rasulullah s.a.w.?.” Bilal r.a.
tidak menjawab pertanyaan Fatimah r.a., segeralah Fatimah r.a. memberikan
tongkat tersebut, maka Bilal pun membawa tongkat itu kepada Rasulullah
S.A.W.
Setelah Rasulullah S.A.W. menerima tongkat tersebut dari Bilal r.a. maka
beliau pun menyerahkan kepada ‘Ukasyah. Bilal masuk sambil membawa cambuk
dan memberikannya kepada Rasulullah saw. Setelah itu, Bilal kembali ke
tempat duduknya sambil menatap tajam Ukasyah bin Muhsin. Namun, yang ditatap
tetap tampak tenang dan tetap bergeming oleh kegelisahan di sekelilingnya.
Orang seperti apakah Ukasyah ini? Bagaimana ia bisa sampai hati menuntut
Rasul saw. untuk menerima cambukannya? Bukankah Ukasyah juga tahu bahwa
beliau saw. tidak sengaja? Bukankah Ukasyah juga tahu bahwa memaafkan itu
jauh lebih mulia? Bukankah Ukasyah juga melihat bahwa Rasulullah saw. saat
itu sudah berusia enam puluh tiga tahun? Bukankah keimanan Ukasyah kepada
Allah dan Rasul-Nya sebagai pejuang Badar sudah tidak diragukan lagi? Kenapa
bisa begini ya, Ukasyah? Kenapa? dipenuhi pikiran seperti itu, para sahabat
Anshar dan Muhajirin menatap bolak-balik antara Rasulullah saw. dan Ukasyah
dengan perasaan tegang. Ketegangan itu berubah menjadi keheningan yang
mencekam ketika Rasulullah saw. memberikan cambuknya kepada Ukasyah. Begitu
tangan Ukasyah bin Muhsin meraih cambuk dan menguraikannya dengan tenang dan
perlahan, Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab berdiri serempak. Sorot
mata keduanya yang biasa tenang kini menyala seperti sedang berhadapan
dengan musuh di medan tempur. Mereka berdua berkata, “Hai Ukasyah! Kami
sekarang berada di hadapanmu! Pukul dan qisaslah kami berdua sepuasmu dan
jangan sekali-kali engkau pukul Rasulullah saw.!” Suasana jadi mencekam
sejenak karena Ukasyah tampak tidak mempedulikan mereka. Sementara Abu Bakar
dan Umar tetap berdiri menantang. Namun, dengan lembut, Rasulullah saw.
berkata kepada kedua sahabat terkasihnya itu, “Duduklah kalian berdua. Allah
telah mengetahui kedudukan kalian.” Hanya karena Rasulullah saw yang
berkatalah, maka Abu Bakar dan Umar duduk. Namun, mata mereka tetap menatap
Ukasyah. Tiba-tiba, seseorang kemudian berdiri pula dan kembali menatap
Ukasyah dengan pandangan menantang. Orang ini juga sangat dikasihi
Rasulullah saw, lelaki gagah itu adalah Ali bin Abi Thalib yang langsung
berkata, “Hai Ukasyah! Aku ini sekarang masih hidup di hadapan Nabi saw. Aku
tidak sampai hati melihat kalau engkau akan mengambil kesempatan qisas
memukul Rasulullah. Inilah punggungku, maka qisaslah aku dengan tanganmu dan
deralah aku semaumu dengan tangan engkau sendiri!” Namun, Ukasyah seolah
tidak mendengar apa yang dikatakan Ali r.a. Tangannya terlihat semakin erat
menggenggam cambuk. Setelah Ali berkata begitu, Rasulullah saw. cepat-cepat
menukasnya dan meminta Ali kembali duduk, “Allah Swt. telah tahu kedudukanmu
dan niatmu, wahai Ali!”
Setelah itu cucu Rasulullah Hasan dan Husin bangun dengan berkata: “Wahai
‘Ukasyah, bukankah kamu tidak tahu bahwa kami ini adalah cucu Rasulullah
s.a.w., kalau kamu menqishash kami sama dengan kamu menqishash Rasulullah
s.a.w.” Mendengar kata-kata cucunya Rasulullah s.a.w. pun berkata: “Wahai
buah hatiku, duduklah kalian berdua.” Berkata Rasulullah s.a.w. “Wahai
‘Ukasyah pukullah saya kalau kamu hendak memukul.” Kemudian ‘Ukasyah
berkata: “Ya Rasulullah s.a.w., anda telah memukul saya sewaktu saya tidak
memakai baju.” Maka Rasulullah s.a.w. pun membuka baju, terlihatlah kulit
baginda yang putih dan halus maka menangislah semua yang hadir.
seketika ‘Ukasyah melihat tubuh badan Rasulullah s.a.w. maka ia pun mencium
beliau dan berkata; “Saya tebus anda dengan jiwa saya, ya Rasulullah s.a.w.
siapakah yang sanggup memukul anda. Saya melakukan begini karena saya hendak
menyentuh badan anda yang dimuliakan oleh Allah s.w.t dengan badan saya. Dan
Allah s.w.t. menjaga saya dari neraka dengan kehormatanmu.” Kemudian
Rasulullah s.a.w. berkata:* *”Dengarlah kamu sekalian, sekiranya kamu hendak
melihat ahli syurga, inilah orangnya.”
Kemudian semua para jemaah bersalam-salaman atas kegembiraan mereka terhadap
peristiwa yang sangat genting itu. Setelah itu para jemaah pun berkata:
“Wahai ‘Ukasyah, inilah keuntungan yang paling besar bagimu, engkau telah
memperolehi derajat yang tinggi dan bertemankan Rasulullah s.a.w. di dalam
syurga.”
Allahumma Fasholli wasallim wa baarik wakarim ‘alaa sayyidina Muhammadin Wa
‘alaa ali sayyidina Muhammad..
Wallahu A’lam Bishshowab

“Sayyiduna Ali Ibn Abi Tholib KW, “Dunia merupakan Rumah utk Beramal & Tiada
balasan didalamnya. Akhirat merupakan Rumah pembalasan & Tiada amal
didalamnya, Maka beramal ibadahlah kalian diRumah (Dunia) yg Tiada balasan
didalamnya utk Menetap diRumah (Akhirat) yg Tiada amal didalamnya.”
[Risalatul Mudzakarah – Hb Abdullah Bin Alwy Al Haddad]
http://www.majelisrasulullah.com
http://www.forsansalaf.com/
sumber https://majlisasysyifaa.wordpress.com/

0 komentar:

Posting Komentar